Saturday, May 10, 2025

Minggu, 29 Desember 2013

Blogcerpen - Laki-Laki di Toko Bunga





Laki-laki itu lagi!
Dadanya berdebar-debar.
Joanna lupa berapa kali sudah laki-laki itu datang ke toko ini, toko yang menjual bunga dimana ia bekerja. Yang ia ingat, laki-laki itu selalu hanya datang, melihat-lihat dan bertanya. Itu saja. Tapi tak membeli apa-apa.
Seperti yang seharusnya dilakukannya, ia sudah menyambut dengan cara terbaik pada setiap orang yang datang. Ia pun melakukannya pada laki-laki itu. Memperlihatkan wajah terbuka, senyum keramahan penuh rasa hormat, menemaninya melihat-lihat dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang bunga. Ia melakukannya pada mungkin ratusan orang yang telah datang, dan ia senang hati melakukannya. Ia sudah terbiasa sejak bekerja disana, dan ia merasa begitulah seharusnya orang yang melakukan pekerjaan menjual. Seringkali orang menjadi semakin ingin membeli ketika ia menemukan sesuatu yang diinginkan atau sesuatu yang dibutuhkan mendapat penghargaan dari seseorang yang menjualnya, yang mampu membuat kesan sesuatu itu sedemikian bernilai dimana ia memang pantas membelinya, dan begitulah seharusnya. Keinginan akan menjadi semakin kuat ketika ia menemukan penghargaan pada dirinya, tulus dari seseorang yang menjualnya.
Semua orang yang datang membeli bunga pada akhirnya, tapi tidak dengan laki-laki itu. Ia hanya datang dan datang saja. Mula-mula Joanna berpikir tentang apa yang mungkin belum dilakukannya yang bisa membuat laki-laki itu kemudian memutuskan untuk membeli bunga.
‘Aku sudah melakukannya, dan tak pernah gagal pada orang lainnya.’ Demikian ia menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
Ia berkesimpulan, laki-laki itu barangkali tak punya cukup uang, atau mungkin ia belum terbiasa membeli bunga untuk sesuatu, tapi ia ingin mencobanya. Atau, ia memang datang bukan untuk membeli bunga. Lalu untuk apa? Untuk membuatnya merasa sia-sia saja melakukan pekerjaannya menjual bunga dengan cara terbaik?
Beberapa waktu sebelumnya ketika ia tak juga menemukan jawaban tentang pertanyaannya sendiri mengenai apa sebenarnya keinginan laki-laki itu, selalu datang tapi tak membeli apa-apa, ia mulai merasa kesal.
Siang ini Joanna sudah merasa kesal begitu ia menangkap bayangan laki-laki itu memasuki pintu, berjalan tenang dengan kedua tangan dimasukkannya ke dalam saku jaket seperti biasa dan kembali berkeliling melihat-lihat.
“Boleh saya bertanya?” Joanna mendekat. Ia menahan rasa kesal yang sejenak sudah terbit dan menyembunyikannya di balik senyum ramahnya seperti biasa. Untuk pertama kalinya ia sadar bahwa ia tak mengulas senyum dengan setulusnya pada tamu di toko bunga ini.
“Silakan.” Sahut laki-laki itu. Seperti biasa, datar dan tanpa ekspresi apapun.
“Apa yang sebenarnya anda inginkan datang ke sini?”
“Saya ingin membeli bunga.” Jawab laki-laki itu tenang dengan suara tanpa tekanan.
Membeli bunga katanya? Apakah ia lupa bahwa ia selalu hanya merepotkanku dalam setiap kedatangannya?
“Anda belum membelinya sejak pertama kali anda datang.” Kata Joanna. Ia ingin laki-laki di depannya tak melupakan hal itu. Perkataannya mungkin akan melukai perasaan laki-laki itu, tapi ia tak ingin merasa bersalah karena mengucapkannya. Laki-laki itu harus tahu.
“Saya akan membelinya pada saat yang tepat.”
Jawaban aneh, pikir Joanna. Seharusnya ia tahu kapan saat yang tepat. Untuk apa ia datang jika ia tahu saatnya belum tepat.
“Saya berharap sekarang ini adalah saat yang tepat!” Kata Joanna. Ia mencoba membicarakan kemungkinan-kemungkinan baik untuk mengurangi kekesalan dalam hatinya yang terus berduyun-duyun.
Laki-laki itu menggeleng. Joanna menghela nafas, sia-sia ia menahan dirinya. Laki-laki itu tak seperti kelihatannya, tenang, tapi membuatnya kesal.
“Setiap saat adalah saat yang tepat, tapi saya merasa akan sia-sia saja.” ujar laki-laki itu lagi.
Kenapa kau tak keluar saja, menjauh dari toko ini? Apa kau tak tahu kau mulai membuatku merasa kesal? Aku mengerahkan segala rasa hormat tapi kau menukarnya dengan kata-kata aneh, kau pikir itu kata-kata yang bagus? Kata-kata yang menyenangkan menurutmu? Kau tahu, itu konyol sama sekali!
“Sia-sia? Anda yakin akan sia-sia saja?”
“Benar! Kadang saya memutuskan untuk mengirim padanya bunga, agar ia tahu saya memiliki mimpi untuk memiliki hatinya.” Kata laki-laki itu tepat pada saat Joanna beringsut dan memutuskan untuk membiarkan saja laki-laki itu sampai ia bosan sendiri dan melangkah keluar dari toko ini. “Tapi saya merasa akan sia-sia saja!”
Langkah Joanna terhenti oleh kata-kata itu.
“Bukankah menundanya akan membuat mimpi anda lebih sia-sia? Tentu tak hanya anda seorang yang memiliki mimpi untuk memiliki hati seseorang itu bukan?” Joanna mencoba memberinya gambaran, agar laki-laki itu segera berkeputusan. Membeli bunga atau tidak, ia tak peduli lagi.
Tapi, berhentilah membuatku kesal, orang lain yang datang nanti akan ikut merasakan kekesalanku, mereka akan mendapat kesan tak baik, dan itu tak baik untuk toko ini.
“Ya!”
“Bagi saya tak menjadi masalah kalau pun anda tak jadi membeli bunga, tapi mungkin akan menjadi masalah bagi mimpi anda. Bukan tentang bunga, tapi tentang memberitahu mimpi anda padanya. Anda tak harus mengungkapkannya dengan bunga jika anda memang tak ingin membelinya!”
“Saya pertama kali melihatnya sungguh terkesan, saya tak percaya tentang cinta pada pandangan pertama. Bagaimana mungkin baru melihat saja seseorang bisa jatuh cinta! Tapi saya mengalaminya, saya memikirkannya dan setiap hari saya pergi ke tempat di mana pertama kali saya bertemu dengannya.” Laki-laki itu bercerita.
“Sebaiknya temui saja seseorang itu, menceritakannya pada saya akan sia-sia saja!” Sahut Joanna. “Saya mungkin bisa membantu kalau anda bertanya tentang bunga apa yang paling tepat untuk anda beli dan anda gunakan untuk mengungkapkan cinta pada pandangan pertama anda pada seseorang itu!”
“Bunga apa yang paling tepat menurutmu?”
“Saya sudah memberitahu pada anda sebelumnya bukan? Anda akan menanyakannya itu terus menerus sedangkan anda sama sekali tak membelinya?”
“Maafkan saya, tapi saya akan membelinya suatu saat, saya tak tahu kapan persisnya, tapi saya akan membelinya dan memberikan padanya.” Kata laki-laki itu. “Saat itu adalah saat yang tepat dan itu tak akan sia-sia!”
“Saran saya adalah, jangan terlalu lama menundanya, meskipun tanpa menundanya sekalipun bukan berarti mimpi akan pasti tergenggam. Tapi setidaknya anda tak terlambat! Anda takkan bisa melakukan apa-apa lagi jika seseorang itu telah dimiliki orang lain!”
“Saya tak terlalu berharap dengan mimpi itu, tapi saya ingin memberitahunya tentang mimpi itu sendiri pada saat yang tepat, agar saya tak membuatnya sia-sia!”
“Saya tak mengerti maksud anda!” Joanna mulai tidak sabar. Kata-kata laki-laki itu tak masuk akal. Rasanya laki-laki itu tak berani untuk mendekati seseorang yang telah membuatnya jatuh cinta. Ia hanya kebingungan dengan keinginannya.
“Maaf, telah membuat ketidaknyamanan di sini. Ketika semuanya sudah tak mungkin, saya tak akan melakukannya. Tapi percayalah, saya akan membeli bunga suatu ketika!” Laki-laki itu mengangguk sedikit, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu, lalu keluar.
Terserah, kau mau membelinya atau tidak! Lebih baik kalau kau tak datang lagi! Batin Joanna memekik menumpahkan kekesalannya. Ia lalu menghampiri kursi dan duduk.
Selama berhari-hari Joanna kehilangan semangat untuk bekerja. Laki-laki itu pasti akan datang dan datang lagi. Berbicara tak keruan dan membuat suasana jauh dari menyenangkan seperti pada saat laki-laki belum datang.
Tapi sejak kedatangan terakhir yang membuatnya sangat kesal, laki-laki itu belum datang lagi. Sedikitnya Joanna merasa senang, orang-orang yang datang membeli bunga untuk bermacam keperluan mereka semuanya menyenangkan dan ia melayaninya dengan senang hati.
Hingga terlewat waktu sebulan, laki-laki itu tak datang lagi. Joanna lega, meski kadang ketika siang datang ia masih takut laki-laki itu akan datang lagi.
“Selamat siang, mau membeli bunga apa?” Joanna bertanya pada seorang perempuan cantik yang baru saja masuk dan melihat-lihat bunga-bunga yang dipajang. Perempuan itu tersenyum padanya. Senyumnya manis sekali.
“Saya ingin sekali membeli mawar ini!” Sahut perempuan cantik itu menunjuk setangkai mawar merah.
“Pasti anda akan memberikannya pada suami atau pacar anda.” Kata Joanna disertai senyum untuk menyenangkan hati pembelinya.
Perempuan cantik itu tertawa kecil.
“Anda selalu tahu!” Katanya sambil mengerling pada Joanna dan tetap dengan senyumnya. “Tapi, sebelumnya saya ingin sekali bertanya, mungkin anda tahu, atau ingat sesuatu!”
“Dengan senang hati, kalau saya tahu, atau ingat sesuatu yang anda maksud.” Sahut Joanna. Ia menyodorkan sebuah kursi plastik pada perempuan cantik itu.
“Silakan duduk!”
“Terima kasih!”
Perempuan cantik itu lalu duduk. Joanna mengambil kursi berbeda dan kini mereka duduk berhadapan.
“Apakah pernah ada seorang laki-laki datang ke sini? Maksud saya dia masih muda dan hampir setiap hari datang ke sini?” Tanya perempuan cantik itu. Joanna berusaha menyembunyikan ekspresinya yang terkejut sebenarnya. Semoga laki-laki yang dimaksud perempuan cantik itu bukan laki-laki menyebalkan itu. Ia baru beberapa hari bisa tenang dan menemukan kembali mood-nya bekerja setelah selalu merasa terganggu oleh kedatangan laki-laki itu.
“Saya tak tahu siapa yang anda maksudkan, tapi mungkin saya bisa mengingat orang-orang yang sering datang ke sini.” Kata Joanna.
“Dia bercerita bahwa dia setiap hari datang ke sini, tapi ia tak membeli bunga, hanya melihat-lihat saja!”
Benar, dia menanyakan laki-laki itu. Ada apa dengan perempuan cantik itu?
Hei, mungkin ini seseorang yang dimaksud laki-laki itu? Seorang perempuan cantik yang telah membuat laki-laki itu jatuh cinta tepat pada pandangan pertama? Ia mengerti sekarang, mungkin laki-laki itu telah berhasil mendekati seseorang itu, ya, perempuan cantik ini!
Artinya laki-laki itu takkan merepotkannya lagi hanya karena kebingungannya sendiri. Mungkin ia memikirkan kata-kataku dan sekarang telah berhasil mendapatkan pujaan hatinya. Mungkin laki-laki itu bercerita pada perempuan cantik ini betapa selama berhari-hari ia kebingungan di toko bunga. Pasti lucu sekali.
“Saya tak tahu persis, tapi apakah anda menanyakan seorang laki-laki yang mengenakan jaket baseball dan berambut agak panjang?” Tanya Joanna.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Di mata Joanna perempuan cantik itu terlihat senang sekali. Tentu sebuah kisah luar biasa tengah mulai mereka jalin saat ini.
“Ya, benar sekali! Ia memang sering datang kemari kira-kira dua atau tiga bulan lalu?” Wajah perempuan cantik itu sepertinya ingin sekali tahu. Mungkin perempuan itu ingin bersenang-senang dengan cerita tentang laki-laki yang memujanya dariku? Tentang yang dilakukannya di sini selama ini?
“Maafkan saya!” Ujar Joanna. “Di hari terakhir dia datang, saya merasa sangat kesal. Karena dia hanya selalu bertanya atau bercerita saja. Saya harus mengakui bahwa saya terganggu sebenarnya. Saya berusaha melayaninya dengan baik, tapi saya merasa dia sangat merepotkan saya. Kadang saya memang tak selalu bisa berhasil menghadapi setiap orang yang datang ke sini.”
Perempuan cantik itu tersenyum.
“Maaf soal sikap saya ini.” Kata Joanna.
“Tak apa. Saya sangat bisa mengerti, terkadang begitulah seseorang yang jatuh cinta, sulit untuk tak berbuat bodoh.” Sekali lagi perempuan cantik itu tersenyum. “Anda tahu, itu tak mudah baginya. Membuat anda merasa tidak nyaman bukan keinginannya, tapi itu bukan tanpa alasan.” Kata perempuan cantik. Joanna menyembunyikan kebingungannya akan kata-kata perempuan cantik itu yang sama sekali tak dimengertinya.
“Dia akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya pada anda?” Tanya Joanna.
“Maaf, maksud anda?” Perempuan cantik itu balas bertanya.
“Dia bercerita tentang cinta pada pandangan pertama, tentang mimpinya untuk memiliki hati seseorang. Ia ingin mengirim bunga pada anda, tapi ia tak tahu kapan saat yang tepat. Menurut saya mungkin dia tak cukup memiliki keberanian untuk mendekati anda dan mengungkapkan semuanya.” Ujar Joanna. “Melihat anda, saya bisa mengerti kenapa bisa begitu. Saya pikir mendekati wanita secantik anda membutuhkan keberanian bagi seorang laki-laki.”
“Mendekati saya?” Perempuan cantik itu tampak keheranan.
“Saya pikir seseorang yang diceritakannya itu anda, bukan begitu?” Joanna menegaskan.
“Sebenarnya tidak!” Perempuan cantik itu membetulkan kembali posisi duduknya. “Begini, saya datang memang ingin menceritakan sesuatu tentang dia.”
Menceritakan sesuatu tantang dia padaku? Untuk apa? Joanna merasa perempuan di depannya itu aneh.
“Maaf, saya tak tahu, tapi, apakah itu penting untuk saya?”
“Ini memang tentang anda!” Jawab perempuan cantik.
“Tentang saya?”
Perempuan itu mengangguk. Joanna merasa keheranan. Apa maksud perempuan cantik itu sebenarnya. Ia tiba-tiba merasa tak nyaman.
“Saya tak memiliki urusan apa-apa dengan dia, bagaimana mungkin tiba-tiba anda berbicara mengenai saya. Saya pikir ini tentang anda dan dia!”
“Ini memang tentang anda. Laki-laki itu membicarakan tentang seseorang dan sebenarnya, seseorang itu adalah anda!”
“Saya?”
Kembali perempuan cantik itu mengangguk.
“Tidak mungkin!” Sahut Joanna. “Anda salah orang!”
“Tidak mungkin saya salah!” Kata perempuan cantik. “Ini toko bunga Andalusia Florist, bukan?”
“Ya, benar!”
“Maaf, mungkin ini adalah sesuatu yang konyol. Pada mulanya saya juga menganggapnya begitu ketika dia mulai bercerita tentang seorang gadis di toko bunga Andalusia Florist.”
Joanna merasakan dadanya berdesir-desir mendengar ucapan perempuan cantik itu. ia benar-benar merasa tak nyaman sekarang. Dulu laki-laki menyebalkan, sekarang seorang perempuan cantik yang aneh. Apakah mereka memang ingin bergantian untuk membuatku kesal?
“Maaf, tapi saya benar-benar tidak mengerti!” Joanna mulai berpikir lebih baik jika perempuan itu pergi saja. Tak membeli bunga bukanlah sebuah masalah besar bagi toko ini, tapi membeli satu bunga dan meninggalkan kegelisahan jelas suatu masalah.
“Laki-laki itu adalah kakak saya!” Perempuan cantik itu menatap Joanna lekat-lekat. “Dia bercerita bahwa suatu hari dia melintas di depan toko ini dan melihat anda sedang menata bunga di luar. Dia mengatakan tak bisa menahan diri untuk datang setiap siang ketika beristirahat, karena dia telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan anda!”
Jelas sekarang, ia salah menduga. Tapi Joanna merasa malas untuk berpikir, kecuali satu kesimpulan saja bahwa laki-laki itu memang aneh, laki-laki pengecut. Ia tak menyesal dengan rasa kesal padanya. Pasti ia seorang pecundang yang selalu banyak alasan.
Sekarang ia menyuruh adiknya untuk mendekatiku? Laki-laki macam apa itu? Joanna berjanji dalam hatinya sendiri akan membiarkannya kalau ia datang lagi kesini. Kapanpun, besok, atau lusa, atau… terserah!
“Saya rasa, saya harus kembali bekerja!” Kata Joanna akhirnya. Perempuan itu mencegahnya berdiri dengan memegang tangannya.
“Maaf kalau anda mendapat kesan kurang menyenangkan dari kakak saya.” Kata perempuan cantik.
“Anda selalu menolong kakak anda kalau ia ingin mendekati seseorang?” Tanya Joanna sedikit sinis. Sulit dipercaya seorang laki-laki menyuruh adik perempuannya untuk mendekati seorang gadis yang dimimpinya.
“Kakak saya telah divonis dokter bahwa umurnya mungkin tak lama lagi. Saat itu ia masih kuliah. Tapi entahlah, vonis dokter kadang bisa kebetulan sama dengan apa yang digariskan Tuhan melalui takdirnya, tapi seringkali salah! Kakak saya ternyata bertahan sampai ia bekerja, ia membiayai kuliah saya, dan dia sendiri kuliah lagi. Kanker otak yang menghantuinya tak membuat semangatnya bekerja hilang. Ia bahkan terlampau bersemangat, dan seringkali ia lupa bahwa ia mengidap penyakit mematikan dan semestinya dia juga memperhatikan dirinya.” Perempuan itu bercerita. Joanna mendengarkannya setengah hati saja. Apa yang menarik dari cerita itu? Drama yang sudah sering didengarnya.
“Penyakit itu tak mampu menggerogoti juga semangat hidupnya. Tapi tentang cinta, penyakit itu membuat penderitaan lain baginya.”
Perempuan itu diam sejenak. Memandangi Joanna mencari-cari sesuatu. Apa yang dia cari? Kau akan menemukan tumpukan kekesalanku!
“Jika membicarakan tentang masa depan, seakan ia akan hidup jauh lebih lama dari orang lain yang sehat sekalipun. Tapi ketika membicarakan tentang cinta, ia terlihat seperti seseorang yang benar-benar tak punya harapan hidup lagi. Ya, penyakit itu membuat ia memilih meninggalkan kekasihnya.”
Joanna memilih diam mendengar lanjutan cerita tentang laki-laki itu. Baginya perempuan itu tak lebih dari seseorang yang tengah mempromosikan sesuatu. Tepatnya sesuatu yang dramatis. Barangkali untuk menarik simpatinya, atau, ah! Orang selalu memiliki akal. Teruskan saja, tapi maaf kalau aku tak tertarik. Rasanya itu bukan sesuatu yang seharusnya.
“Ia selalu mengatakan pada saya bahwa ia merasa tenang dengan menyibukkan diri tenggelam dengan pekerjaan. Ia merasa akan hidup lebih lama. Ia mulai mencoba melupakan hatinya sendiri yang kosong. Membiarkannya kosong selalu lebih baik, sebab ketika hatinya terisi, ia kembali pada sebuah pemikiran yang terlanjur tertanam di hatinya, ia tak mempunyai banyak waktu hingga saat ajalnya datang!”
“Suatu malam ia bercerita tentang seorang gadis di toko bunga. Ia berkata bahwa ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia merasa sangat sedih, tapi juga bahagia! Sedih karena di hati yang telah dibiarkan kosong dan mana ia menutup rapat-rapat, tiba-tiba dimasuki seseorang yang menggetarkannya. Tapi juga membuatnya merasa bahagia. Saat itu ia mulai berkata bahwa ia mungkin takkan lebih lama lagi bertahan. Ia meminta pada saya untuk menemui anda ketika dia telah meninggal, membeli bunga dan menceritakan semuanya. Saya sedikit merasa kesal dengan perkataannya yang mendahului kehendak Tuhan menurut saya. Tapi, dia memang unfall untuk yang terakhir kali dan dia benar-benar pergi!”
Laki-laki itu telah meninggal?
“Ya, ia telah meninggal!” Kata perempuan cantik itu seakan tahu pertanyaan dalam hatinya. “Ia berkata, kalau aku mendekatinya, apapun akan sia-sia saja. Ia memilih datang setiap siang sekedar untuk melihat anda.”

Joanna tercenung. Ia masih belum bisa melupakan perempuan cantik yang datang kemarin hari dengan ceritanya yang masih sulit untuk bisa dimengerti. Perempuan itu akhirnya membeli setangkai mawar lalu memintanya untuk menerima bunga itu sendiri dan sepucuk surat.
Aneh, tapi ia tak bisa menolaknya.
“Seperti yang telah saya janjikan, saya membeli setangkai mawar. Saya hadiahkan mawar itu untuk seorang gadis di toko bunga ini. Saya merasa bersalah membuatnya tak nyaman untuk waktu yang cukup lama. Maafkan saya.
Saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan hati gadis di toko bunga. Tapi, sungguh tak adil kalau saya berusaha mendekati seorang gadis dan mati-matian untuk membuatnya jatuh cinta dan memiliki hatinya, tapi setelah itu saya hanya akan membuatnya kecewa. Itulah kenapa saya katakan sia-sia saja saya mengungkapkan keinginan saya memiliki hati gadis di toko bunga.
Sedikit saya ceritakan, saya telah divonis dokter takkan hidup lebih lama lagi. Saya telah meninggalkan kekasih saya karena saya tak ingin membuatnya merana kehilangan, jika tiba-tiba saya mati. Tak bijaksana bukan jika saya berusaha memiliki hati gadis di toko bunga itu, sedangkan itu hanya akan membuatnya kehilangan?
Maaf atas kesan kurang baik saya dalam setiap kedatangan saya. Saya ingin anda mendapat kesan itu. Karena saya telah jatuh cinta pada gadis di toko bunga. Jatuh cinta adalah sesuatu yang sangat indah. Membuat lupa segalanya, bahkan terkadang membuat seseorang menjadi berbuat bodoh. Maafkan atas kekonyolan ini!”
Ini memang konyol sekali.
Joanna melipat kembali surat dari laki-laki yang dibawa oleh perempuan cantik itu. Ia berharap hari segera berganti dan ia tak ingin mengingat-ingat lagi. Tentang laki-laki yang selalu datang di toko bunga.

Magelang, November 2012
Cerpen Karangan: Adri Wahyono
kompasiana.com/adriwahyono
 
Copyright © 2025. Cerpenazza - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger