CINTA FATHAN UNTUKKU.
Satu minggu sudah aku dipindahkan keruang rawat biasa. Ayah, Ibu, Kak Adrian menjagaku secara bergantian. Hari-hariku kian berhias bersama mereka. Keceriaan telah tercipta disetiap detikku. Keluargaku telah kembali, mereka rukun setelah komaku. Kami saling bercanda, tertawa saat mendengar ucapan Adinda dengan segala keluguannya. Begitu ia serius bila bercerita tentang sekolahnya. Apa lagi saat bicara tentang ibu gurunya yang sedikit cerewat pada anak-anak muridnya. Sungguh, ia sangat lucu menirukan gaya gurunya itu bila sedang marah-marah, mulutnya menyat-menyot, tangan bertelak pinggang dengan jari telunjuk menunjuk-nunjuk, benar-benar detail ia menirukannya. Aku sangat senang, suasana yang amat kurindukan sejak dulu.
Bukan hanya keluargaku datang merawat, Yuna, Anita dan Fathan pun mengunjungiku, menggantikan keluargaku kala mereka beristirahat. Kadang Yuna datang sendiri, kadang ia datang berdua dengan Anita, kadang bertiga bersama Fathan. Fathan pun seperti itu. Akan tetapi, kini Fathan sering datang sendiri. Ya, semakin lama aku semakin dekat dengan Fathan, memang kedekatan kami sudah terjalin selama aku sebelum dikurung dan akhirnya koma seperti seminggu yang lalu. Namun, kedekatan kami dulu hanya sebatas teman, teman curhat, teman bertukar pikiran tentang Islam selain dengan Yuna dan Anita. Tapi kini, kami kian dekat setelah kejadian aku terlepas dari ragaku. Bahkan kerap kali Yuna dan Anita meledek ku dengan Fathan, Fathan semakin menarik hatiku dengan sedikit kata gombalan-gombalan kaku ala anak-anak rohis.
Aku, Yuna dan Anita sering tertawa bila Fathan menggombal karena paksaan Yuna dan Anita. Bagaimana tidak, ia yang tidak biasa menggombal cewek. Jangankan menggombal, dekat dengan salah satu cewek dikampusku saja aku dan kedua temanku belum pernah melihatnya. Dia selalu menjaga jarak bila ada cewek mendekatinya. Bukan karena dia tidak suka cewek, tapi dia punya prinsip yang selalu ia serukan bila ada yang mendekatinya.
" Bunga mawar merah indah warnanya, tapi sayang ia penuh duri yang membuatku kadang tertusuk, tertusuk seperti saat aku menatap dirimu.. "
seperti itulah ucap Fathan kala ia dipaksa untuk menyatakan cinta secara langsung buatku. Gayanya yang kaku dan kikuk membuat aku tak bisa menahan tawa melihatnya. Fathan, Walau pun ia sangat populer dan sangat dikagumi cewek-cewek kampus ia tak berani bertindak gegabah dengan menyukai cewek sembarangan yang orang tua kriteriakan untuknya. Tiada hari tanpa tertawa. Silih berganti guyonan diantara keluargaku dan Anita juga Yuna, membuatku semakin merasakan kedekatan pada mereka.
**** **** **** ****
Hari ini, Kak Adrian dan keluarganya pulang balik ke Jawa saat Keadaanku kian membaik, tubuhku semakin sehat dan berat badanku sudah bertambah stabil. Kembali seperti semula. Setiap hari Dokter pun memeriksakan kesehatanku. Satu obat habis, Dokter memberikan resep obat baru untukku. Namun, selang infus masih menggelayut. Walau beberapa hari lagi aku sudah diperbolehkan pulang. Aaah, rasanya aku sudah bosan dan sudah kian tak sabar menunggu hari-hari kebebasanku dari makanan ala rumah sakit yang tak berasa bumbu.
Sore ini, Fathan datang berkunjung sendirian. Ia ingin mengajak aku jalan-jalan keluar rumah sakit sebentar. Biar aku tak bosan katanya. Aku hanya mengangguk, mengiyakan ajakannya. Ibu pun setuju usul Fathan saat ini. Setelah meminta ijin keluar pada dokter, aku pun dibawa Fathan entah kemana. Ia menutup mataku dengan kain hitam. Tak ingin aku tahu, kejutan ucapnya. Kejutan yang ingin ia berikan padaku. Hadiah untukku setelah kesadaranku dari koma.
Cara Fathan membuat keingin tahuanku tak sabar untuk menanti. Duduk diam dikursi roda, melaju sedang entah kemana ia akan membawaku. Aku cemas, penasaran dan berbagai rasa telah memenuhiku.
Entah sudah berapa lama ia membawaku pergi, entah sudah berapa lama aku duduk dikursi roda dengan mata tertutup, dan entah sudah berapa jauh jarak roda ini menempuh. Jalanan rusak terasa, jalanan mulus juga sudah dilalui. Aaah, aku pun juga tidak tahu kemana arah tujuan Fathan mengajakku pergi.
" Sudah sampai. " ucap Fathan ketika roda tak lagi berputar. Ketika ia tak lagi mendorong kursi rodanya, ia membukakan ikatan kain hitam dari mataku.
Lamat-lamat ku buka mataku. Kutatap hamparan air biru berpasir putih di sepanjang tepian. Deburan ombak berbunyi saling bersahutan. Awan putih saling arak berarak satu sama lain. Burung camar berkicau bagai satu melodi tentang cinta. Angin bertiup lembut menyentuh kulit wajahku.
Fathan memberikan kejutan pantai berpasir putih indah sekali. Air laut yang jernih, tampak beberapa ekor ikan saling berkejaran ditengah semak belukar tanaman laut. Sangat indah, keindahannya tampak serasi oleh tumbuhan bakau yang sengaja ditanami penduduk untuk menghadang ombak laut.Biota-biota laut nan asing tumbuh berkembang disekitar areal tanaman bakau yang tumbuh seperti semak belukar.
" Bagus sekali, Than? Jadi ini kejutannya? " tanyaku kagum akan keindahan lautnya. Fathan mengangguk dengan 1000 volt senyuman terindahnya buatku.
Mendadak saja aku begitu kaget, Fathan menyelimuti diriku dengan sweeter miliknya. Lalu ia memelukku dari belakang dengan erat. Seolah ia tak ingin melepaskan pelukan itu dariku. Aku diam, tak bisa bergerak. Tangan Fathan begitu kekar untuk ku lepaskan. Tak biasanya ia melakukan ini, seperti ada sesuatu yang ia ingin katakan padaku. Entahlah, aku juga tidak terlalu mengerti tentang sikap Fathan saat ini.
" Entah kenapa, aku sayang sama kamu! Sejak kita selalu berdua, aku merasa ada sesuatu diantara hatiku, berdebar, takut kehilangan bahkan bayangan dirimu selalu datang disetiap detikku. " serunya bercerita tentang perasaannya. Kali pertamanya ia serius berucap seperti ini secara langsung. Suara dengus nafasnya terdengar tak beraturan, degup jantungnya berasa sangat kencang dibalik pelukannya.
" Dua minggu aku menghilang, berusaha untuk melupakan, berusaha juga merenungi apa maksud hatiku yang selalu berdebar. Ternyata jawaban itu ada pada dirimu dan diriku. " ucapnya lagi, semakin ia mendekatkan wajahnya disamping telinga kiriku. Semakin dengus nafasnya terdengar menjalar keseluruh saraf daun telingaku, hembusannya sangat terasa kala nafasnya dihempaskan keseluruh permukaan kulitku.
Fathan memang sudah mengucapkan itu, tapi entah kenapa aku sangat merasa gugup dan berdebar seperti ini. Ternyata, ia benar mencintaiku. Suka padaku. Aku tak tahu, apa perasaanku sama sepertinya? Perasaan yang sama saat dekat dengannya, perasaan yang sama saat ia menyentuh kulitku. Jantungku berdegup kencang tanpa mampu ku kontrol saat ia tersenyum padaku.
" Mei..aku mohon, jangan kau melakukan itu lagi. Jangan kamu meninggalkan aku lagi seperti dua minggu yang lalu. Sungguh, aku tak bisa lepas dari bayang-bayang dirimu saat ku tahu kamu sedang sekarat. Aku mohon, aku mohon padamu. "
aku semakin tak bergerak, tubuhku seolah kaku dan tersihir oleh ucapannya. Ucapan Fathan mampu membuat hatiku merasa nyaman didekatnya. Aah, entah kenapa aku begitu terpesona semua yang ada pada dirinya. Tanganku tergugah, menggugah diriku untuk bergerak. Ku sentuh tangan itu kemudian. Kurekatkan mendekap lebih mendalam lagi. Getaran itu semakin hebat, darahku semakin mengalir deras keseluruh pembuluh darahku.
" Aku takkan meninggalkanmu, aku janji tak akan pernah mengulanginya lagi. " ucapku keluar begitu saja dari bibirku.
Angin terus berhembus, membawa deburan ombak kedaratan. Desir-desir indah saling beriringan membawa melodi dari kicauan burung yang berterbangan. Hari kian menjingga kala sang raja mentari turun dari singasananya. Menyaksikan matahari terbenam, berdua dengannya saling berpelukan dihamparan pasir putih.
Fathan melepaskan pelukannya padaku demikian. Ia berlulut dihadapanku. Merogoh saku celananya sebentar, lalu.. Aah, lagi-lagi ia memberikan sebuah kejutan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Sebuah cincin bermatakan berlian mungil ia tunjukan padaku.
" Maukah kamu menjadi pendamping hidupku? Pendamping yang selalu setia menemaniku kala aku susah maupun senang? " tanya Fathan padaku.
Subhanallah. Sudah tiga kali ia memberikan aku kejutan tak terduga. Dan kali ini, kejutan yang luar biasa untukku. Ia melamarku, ia ingin menjadikan aku seorang istri untuknya. Untuk anak-anaknya kelak.
Ya Tuhan. Apa yang harus ku katakan? Entahlah? Haruskah aku gembira atau apa? Yang pasti aku inginkan hal itu. Namun, aku belum siap menjadi seorang istri. Mungkin waktunya saja belum tepat ia menyatakan ini untukku. Aku masih butuh waktu untuk menjawabnya. Tapi..aaah.., " Ya.. Aku mau menjadi istri kamu, Than!?! " jawabku tanpa berpikir panjang. Aku luluh oleh senyumanya, aku luluh oleh ucapannya.
Fathan melongo, seakan ia tak percaya apa yang barusan aku katakan jawaban untuknya.
" Benarkah itu, Mei? "
aku mengangguk. Fathan berjingkrak kegirangan. Lalu..,
" Ya Allaaaah, terima kasih atas semua ini. " teriak ia sekeras mungkin kearah lautan.
Kemudian, ia memasangkan cincin itu dijari tengah kiriku. Dia tersenyum padaku, dan aku membalas senyuman itu.
Ia menatapku sejenak. Dan..
" Terimakasih ya, Mei. Terimakasih kamu mau menerima lamaranku ini. " ujarnya sembari memelukku.
Aku melepaskan pelukannya.
" Iya.. Sekarang tinggal kamu harus bilang dan datang bersama keluargamu untuk melamarku secara langsung pada kedua orangtuaku. "
Fathan mengangguk mantap. Tiba-tiba..
" Fathan.., "
" Apa? " sahutnya.
Tanganku bergerak kearah wajahnya. Bergetar, seperti orang yang tak percaya apa yang sedang ku lihat diantara celah hidungnya. Kulihat lekat-lekat darah yang menempel dijari tanganku. Benar dugaanku, ini darah yang barusan menetes dari salah satu lubang hidung Fathan.
" Kamu..mi..misan? "
" A..apa? Mimi..san? " katanya mengulang ucapanku. Ia menyentuh lubang hidungnya, lalu melihat dengan seksama darah itu.
" Kamu..nggak apa-apa kan, Than? "
" Aaah.. Nggak apa-apa, kok! Mungkin ini karena aku dekat dengan kamu kali ya, jadi mimisan kayak gini. Bodoh ya aku? Masa dekat dengan cewek secantik kamu aku mimisan kayak gini.. " ujarnya mengalihkan kekuatiranku. Tersenyum terpaksa, menyembunyikan sesuatu dariku.
" Than?! "
" Ya, Mei? "
" Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu padaku? " selidikku penasaran.
" A..apa? A..aku, aku menyembunyikan sesuatu? Nggak lah, Mei! Masa sih aku menyembunyikan sesuatu dari kamu. " sergahnya gelagapan, sambil mengelap darah yang masih saja menetes dari celah hidungnya.
Mata itu tak bisa membohongiku. Bahasa tubuhnya begitu terlihat kalau dia sedang berbohong padaku. Ia tidak bisa berbohong dihadapanku. Terlihat jelas kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Gugup dan ketakutan atas rahasia yang sedang sembunyikan dariku akan ketahuan.
" Kamu lagi nggak membohongiku kan, Than? " selidikku sekali lagi. Aku ingin tahu, harus tahu apa yang sedang ia sembunyikan dariku.
" Aah, nggak lah, Mei! Masa sih aku membohongi calon istriku sendiri? Percaya deh, aku nggak apa-apa kok! Dan aku nggak berbohong atau menyembunyikan sesuatu dari kamu.., " sergahnya meyakinkanku. " Udah ah, yuuk, kita pulang! Udah sore. " serunya mengalihkan pembicaraan.
Sepanjang jalan, hatiku tak tenang. Aku bahagia memang, bahagia karena Fathan melamarku. Namun, aku tidak tenang karena ada sesuatu yang Fathan sembunyikan dariku. Darah keluar dari hidung tanpa henti, hal itulah yang membuatku takut kehilangan dirinya.
Dua hari sesudah Fathan melamarku ditepi pantai, dan dua hari sebelum aku pulang dari rumah sakit. Fathan berdiri melamun di depan jendela. Wajah kuatirnya sangat terlihat dibalik tatapan matanya begitu kosong kearah luar jendela. Sudah dua hari ini dia datang menjengukku dengan tampang seperti itu.
" Than, kok ngelamun sih? Ada apa? "
" Eeh, nggak apa-apa kok, Mei! Aku cuma kuatir kalau orang tua mu tidak setuju dengan lamaranku sama kamu! " serunya.
" Ooh, itu yang buat kamu melamun? "
Fathan mengangguk lemah.
" Sudah jangan dipikirin. Ibu dan Ayah pasti setuju kok dengan rencana kita ini! " seruku memberi semangat.
" Insya Allah Mei, ya sudah kamu istirahat dulu. Aku mau sholat dhuha dulu, biar tenang sedikit. "
" Oke. "
ku lihat dirinya berjalan dengan gontai, begitu berat langkahnya untuk keluar. Seakan ada beban berat yang sedang menggelayut dipundaknya. Beban apa yang sedang ia pikirkan saat ini, Aku pun tak mengerti. Tapi, Aku merasakan ada hal lain yang ia sembunyikan dariku.
Setelah Fathan keluar dengan segudang kebimbangan dan kekuatiran. Pikiranku mengingat akan darah yang menetes dari celah hidungnya. Tetesan darah yang sedikit membuatku kuatir akan kesehatannya. Mungkin itu yang dipikirkan Fathan saat ini. Pikirannya bukan pada masalah kekuatiran terhadap jawaban orang tuaku nanti akan lamarannya padaku.
" Aah, nggak mungkin? Mungkin saja benar, Fathan sedang kuatir dengan jawaban ibu dan ayah nanti tentang lamaran itu! " ujarku dihati.
Aku berusaha membuang segala pikiran burukku terhadapnya. Lalu, aku berbaring kembali diranjang. Berusaha tidur dan melupakan tentang darah yang menetes dari celah hidung Fathan. Tak berapa lama.. Pintu kamarku terbuka kembali oleh seseorang diluar sana. Ku lihat Ibu dan Ayahku berjalan beriringan memasuki ruang rawatku.
" Mei, Fathan mana? Katanya ada yang mau dibicarakan sama ibu dan ayah? " tanya ibu.
" Iya nih, Mei! Ayah jadi nggak sabar seperti yang kamu bilang ditelepon tadi?!? " timpal ayahku mengeluarkan beberapa macam buah-buahan dari dalam kantong plastik.
" Sabar dong Yah, Bu! Fathannya lagi sholat dhuha dulu. "
" Ooh gitu.. Ya deh, kami tungguin Fathan. " sahut ibuku sembari melirik dengan sedikit senyuman kearah ayahku.
Ku lirik jarum jam dipergelangan tangan Ayahku. Sudah jam 11, hampir 3 jam Fathan sholat dhuha. Ia juga belum selesai dan kembali ke kamar rawatku. Tak seperti biasanya ia berlama-lama dalam sholat dhuhanya. Ada sesuatu yang terjadikah? Aah, walaupun ada sesuatu hal Fathan akan selalu menghubungiku. Dan aku pun tahu, dia bukan orang yang suka mengingkari janji.
" Kok, lama ya, Mei? Ibu jadi nggak sabar nih, nungguinnya! " seru ibu.
" Nggak tahu, Bu! Mungkin dia sedang mengaji. " sahutku.
" Sabar dong, Bu! Mungkin Fathan gugup atau grogi barangkali. " Timpal ayahku.
" kreeek " Pintu kamarku terbuka dari luar. Ku lihat Fathan tampak tak semangat hari ini. Ia terlihat lesu setelah dari sholat dhuha.
" Fathan, dia kenapa ya? Lesu banget kayaknya? " tanya batinku.
" Om, Tante! " sapa Fathan langsung menyambar tangan kedua orangtua ku dan mencium tangan mereka.
" Hei, Than! Apa kabar? " tanya ibuku berbasa-basi.
" Baik tante, tante sendiri bagaimana kabarnya? "
" Baik juga! "
" Oiya Than, katanya ada yang mau kamu sampaikan pada kami? Apa? " sambar ayahku tak sabar.
" Iya Om, begini.., " katanya berjalan menuju kursi dan mengajak orang tuaku duduk. " Insya Allah kalau tidak ada halangan.., mmmh.. Minggu depan saya dan orangtua akan bertandang ke rumah Om dan tante untuk melamar Mei. " lanjut Fathan menjelaskan.
" Apa? Yang benar kamu, Than? " ucap Ibu setengah terkejut mendengar pernyataan Fathan.
Fathan mengangguk mantap.
" Kamu sudah yakin, Than, dengan semua keputusan kamu ini? Kamu tahu kan kalau kami ini non muslim? "
" Ya Om, aku tahu! Kalau Om dan Tante mengijinkan, aku ingin menjadikan Mei sebagai pendamping hidup saya. "
" Ya.., kalau kamu memang sudah yakin kami sih terserah Mei saja. Om dan Tante cuma bisa merestui hubungan kalian saja. " ujar ayahku sembari melihat ke arahku.
" Aku setuju kok, Yah! " seruku.
" Hmm, kalau ceweknya sudah setuju.. Jadi yah.., mau diapain lagi. " ucap ayahku pasrah. Senyum-senyum kearah Ibuku.
" Terimakasih Om, tante! " ujar Fathan sumringah. Tampak ia bahagia dengan segala ucapan kedua orangtua ku. Ia lalu melirikku dengan sejuta senyum kebahagian. Ku balas senyuman itu.
Karya : kamalsyah indra